. Utara - Selatan .
THE OBSERVANT CLUB : MOBILITY 1.01 . UTARA SELATAN
Group Exhibition
Lir Space, Yogyakarta
2018
_______________
"Ah, kau puan kelana
Kenapa musti ke sana?
Jauh-jauh puan kembara
sedang dunia punya luka
yang sama.” [i]
_______________
UTARA – SELATAN menjadi bagian
pertama rangkaian proyek dalam kerangka kuratorial “The Observant Club” [i] ke-dua dengan tema
mobilitas. Mobilitas merupakan tema yang kami pilih dari kegelisahan yang
terjadi secara berkala. Potongan lagu pembuka tulisan ini adalah gambaran
kegelisahan tersebut. Dalam proyek UTARA – SELATAN ini kami memilih dua bentuk
berbeda dari kerja aktivisme seni untuk membicarakan pilihan politis atas
hal-hal yang justru dekat dan memikirkan ulang wacana mobilitas dengan
kritis.
Melihat kerja-kerja kesenian hari
ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seniman kontemporer bekerja dengan
berpindah-pindah dari satu negara ke lain, baik yang hanya berada di seberang
laut hingga yang berjarak separuh dunia. Dalam sejarah seni Indonesia, praktik
berpindah ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Lokasi penciptaan seni
dan kebudayaan modern maupun kontemporer kita memang tidak pernah benar-benar
berpusat hanya di Indonesia. [ii] Meskipun demikian,
mungkin peran teknologi telah berhasil mengamplifikasi romantisme perpindahan
seniman-seniman kontemporer saat ini. Arus informasi ini yang kemudian membuat
semua perpindahan ini tampak lebih nyata, dan coba direproduksi oleh generasi berikutnya
dalam segala pemikiran romantis maupun praktis atas mobilitas.
Saat ini, mobilitas dalam seni
tidak hanya dipandang sebagai bagian diplomasi negara atau pencarian artistik
dari praktek kesenian, namun juga menjadi semacam poin penting dalam karir.
Tidak mengherankan jika mobilitas mulai menjadi tujuan, kebanggaan, sumber
inspirasi, dan bagian dari gaya hidup nomaden yang penuh kebebasan. Hal ini
menjadi problematis ketika terjadi glorifikasi atas perpindahan para pekerja
seni dipertemukan dengan realitas perpindahan para migran dan pencari suaka.
Perpindahan tersebut kemudian menjadi cukup jelas perbedaannya: mereka yang
terpaksa berpindah tempat (karena perang, bencana alam, atau kodisi-kondisi
luar biasa lainnya), dan mereka yang berpindah secara sukarela. [iii] Yang pertama bergerak
dengan segala keterbatasannya. Yang ke-dua bergerak dengan terukur, terencana,
dan dengan segala posisi yang menguntungkan dan memudahkan pergerakannya. Dalam
esainya, Gielen mempermasalahkan beberapa hal, antara lain ketimpangan hak
istimewa para nomaden yang berpindah dengan sukarela dengan mereka yang
terpaksa berpindah; adanya peluang residensi seniman dan kurator yang seakan
mengharuskan mereka untuk terus menerus mencari ketidakpastian yang selalu
menginspirasi di tempat lain; apropriasi satu sisi dalam diskursus tentang
nomadisme ini dalam seni kontemporer sehingga menimbulkan romantisme yang
berlebihan atas kebebasan para nomaden yang tidak terikat pada ‘rumah’ atau
lokasi geografis tertentu; kecepatan yang mengharuskan individu di dalamnya
bergerak lebih cepat dan menimbulkan individualisme yang menjadikan usaha-usaha
pengambilan posisi politis tidak melulu efektif. [iv]
Pertanyaan kami saat ini adalah
bagaimana memaknai mobilitas dengan lebih kritis sebagai usaha untuk tidak
tercerabut dari bagian komunitas lokal tempat kita tinggal. Perputaran
perpindahan yang cepat bisa mengakibatkan perasaan tidak terhubung dengan
identitas sebagai warga negara dan menipisnya perasaan turut memiliki tanah
air. Karya-karya yang diciptakan pun berakar pada ruang-ruang jauh yang terbebas
dari permasalahan sehari-hari di ‘rumah’. Kerja-kerja seperti ini kemudian
menimbulkan pertanyaan atas kerja-kerja yang dekat dan berhubungan dengan situs
tinggal seniman. Situs-situs yang masih memiliki persoalan dan perlu dibahas
serta diberi perhatian agar setidaknya secara keberadaan, isu ini lebih
terangkat ke ranah publik yang lebih luas. Hal-hal kecil ini kemudian menjadi
bentuk tanggung jawab politis sebagai warga negara. Pertanyaan ini tentu hadir
sebagai pancingan untuk memicu orang-orang lebih memperhatikan isu-isu yang
dekat, serta memperhatikan praktik-praktik artistik yang berhubungan dengan isu
masyarakat namun kalah populer dari pembicaraan mobilitas para seniman lintas
negara ini.
Ketika kita berada di tempat yang
jauh, kita memiliki perspektif kebaruan atas hal-hal yang mungkin luput dari
pandangan sehari-hari di tempat tersebut. Sedangkan ketika kita berada di
tempat yang dekat, kita mungkin bisa memiliki konteks yang berbeda dan mendalam
atas hal-hal sehari-hari yang mungkin tidak terlihat oleh mata pendatang.
Adanya pilihan untuk bekerja dari dekat atau dari jauh ini mengingatkan kami
atas sistem ganda yang diajukan Certeau [v] dalam melihat sebuah
kota: pertama, dengan jarak yang cukup jauh melalui pandangan yang diumpamakan
sebagai seseorang yang melihat dari puncak gedung bertingkat dengan perspektif
keruangan yang seakan utuh dan gambaran besar atas kontur geografis serta
arsitektural sebuah kota. Yang ke-dua adalah pilihan untuk menjadi pejalan kaki
yang mengalami kota dari jalanan sehingga mengubah dan merangkai pengalaman
tubuh yang sepotong-sepotong atas suatu wilayah menjadi ruang yang aktif
dialami secara taktil, indrawi, dan menyeluruh. Dalam mengambil pilihan politis
dan berjuang menuntut keadilan; seniman, akademisi, dan para pemikir kemudian
dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, untuk mengamati semuanya dengan
kenyamanan dan kemewahan jarak kemudian menciptakan produk intelektual atas hal
tersebut. Kedua, membiarkan kaki mereka kotor dan terjun langsung untuk bertemu
dengan masyarakat yang sedang diperjuangkannya. Posisi para nomaden yang terus
berpindah-pindah menjadikan keberadaan mereka diliputi kesementaraan dan
menjadikan mereka terus berada di ‘antara’. Posisi ini menjadikan mereka mudah
untuk melihat hal-hal dengan perspektif yang lebih luas sehingga mampu menjadi
mediator ketika terjadi konflik. [vi] Di sisi lain, ada
saat-saat yang menjadi cukup genting dan menciptakan gestur politis dan berdiri
di belakang posisi artistik yang netral tidak lagi cukup.
UTARA – SELATAN
Posisi geografis UTARA – SELATAN
kami pilih sebagai kendaraan untuk membicarakan tentang hal-hal yang berada di
dalam jarak pandang pejalan kaki dengan kedekatan yang taktil. UTARA
– SELATAN adalah upaya untuk melihat bagaimana kedua area pesisir yang
secara geografis berada di dalam satu pulau yang sama mengalami peristiwa
konflik yang serupa dalam kaitannya dengan isu-isu lahan dan pembangunan. UTARA
mewakili pesisir Utara Jakarta, dan SELATAN mewakili pesisir Selatan Jogja.
Proyek seni yang kami pilih untuk membicarakan tentang pergerakan,
aktivisme, kedekatan, dan suara akar rumput di dua area ini adalah Swara
Pembangunan (Yogyakarta) dan Ziarah Utara (Jakarta). UTARA – SELATAN mencoba
untuk mempresentasikan dua pendekatan berbeda dalam dua kerja artistik yang
terkait isu sosial tersebut.
Di Jogja, isu perebutan lahan dan
pembangunan terjadi di banyak titik. Kasus yang paling genting saat ini
khususnya terjadi di pesisir selatan kota Jogja, tepatnya di area Temon - Kulon
Progo. Di area pesisir ini sedang dibangun sebuah bandar udara baru yang
mengakibatkan terjadinya perebutan lahan antara pemerintah dengan warga yang
umumnya adalah petani. Isu ini kemudian memang santer diberitakan oleh media
arus utama, sayangnya tidak dalam posisi yang berseberangan dengan tindak
kesewenangan yang terjadi. Di titik itulah gagasan Swara Pembangunan
dimunculkan oleh beberapa teman seniman yang mayoritas masih berusia muda untuk
menjadi corong tandingan (meski tidak dalam skala yang sama dengan media arus
utama) dengan tujuan untuk mengamplifikasi isu agraria ke tengah anak muda yang
lebih umum secara aktif. Swara Pembangunan bekerja sebagai kelompok tim
pengemasan informasi seputar peristiwa yang terkait dengan pemindahan paksa,
penghacuran lahan pertanian, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan krisis
agraria. Isu yang menjadi fokus perhatian saat ini adalah hal-hal seputar
pembangunan bandar udara baru, New Yogyakarta International
Airport. Kelompok ini bekerja dalam bahasa dan pilihan
artistik yang cenderung muda dan segar, dengan menggunakan saluran media
sosial yang dekat penggunaannya dengan anak muda. Pengemasan ini berjalan
relatif cepat seiring dengan ritme dari isu yang berkembang serta munculnya
kebutuhan-kebutuhan mendesak yang harus segera
ditindaklanjuti. Kerja-kerja desain, media, dan pengemasan informasi,
serta sifat responsif dari kelompok ini adalah bentuk pendekatan yang
disesuaikan dengan urgensi serta ke arah mana isu ini berkembang.
Di Jakarta, isu-isu pembangunan
secara masif sedang terjadi dan cukup mendapat sorotan karena posisinya di
pusat dan perannya sebagai ibukota Indonesia. Meskipun demikian, isu yang
banyak dibicarakan ini mengalami normalisasi yang menipiskan gemanya. Semua
pemberitaan seolah membicarakan hal yang sama dan berulang yang dipaparkan
dalam deretan angka, untung-rugi, dan kebutuhan-kebutuhan negara yang bersifat
dingin dan mutlak demi pembangunan bangsa. Ziarah Utara merupakan sebuah platform yang
dimulai dengan perjalanan 11 hari, yang digagas oleh Irwan Ahmett, Tita Salina,
Hannah Ekin, dan Jorgen Doyle. Tujuannya adalah untuk mencoba melihat lebih
dekat persoalan dengan meniti satu per satu area sepanjang pesisir pantai Utara
Jawa ini. Ketelitian dalam melihat hal-hal yang sehari-hari inilah yang membuat
prakteknya cenderung puitik. Perjalanan jalan kaki ini menjadi perjalanan
puitis yang perlahan penuh kedekatan dan kedalaman. Keempat seniman ini tidak
berada dalam dinginnya data-data yang berjarak. Mereka menjadikan proses
berjalan kaki sebagai cara untuk mengalami pembangunan yang tidak merata dengan
berhubungan langung dengan keseharian warga. Proyek ini dimulai dengan
perjalanan menyusuri pesisir utara Jakarta dengan berjalan kaki selama 10 hari
untuk melihat sejarah, dinamika sosial, serta lanskap wilayah utara Jakarta
yang saat ini sedang mengalami pembangunan yang masif, salah satunya adalah
Giant Sea Wall yang rencananya akan membentang di sisi utara Jakarta.
Perjalanan ini kemudian menjadi metode riset sekaligus praktek yang puitis di
antara persoalan-persoalan lingkungan dan sosial yang hadir dalam keseharian
masyarakat di pesisir utara Jakarta. Ziarah Utara kemudian berkembang menjadi
perjalanan-penelitian yang berkelanjutan hingga jangka waktu yang belum
ditentukan.
Melihat kedua pendekatan yang
berbeda ini mengingatkan kami atas kerja-kerja jurnalistik dalam mengemas
informasi. Kegentingan yang meliputi isu yang diusung oleh Swara Pembangunan
memaksanya berjalan cepat layaknya berita harian surat kabar. Kecepatan tidak
melulu mengacu pada kerja-kerja yang instan namun lebih kepada aktualitas dan
responsifitas. Sedang pendekatan lain diterapkan oleh Ziarah Utara selayaknya
pendekatan dalam penulisan feature yang lebih mengedepankan cerita-cerita
mendalam dan penuh ketelitian, tak sepenuhnya berpihak pada kecepatan
(aktualitas) namun menjadi rekaman peristiwa serta pembacaan isu yang lebih
mendalam di kemudian hari.
Masih dalam perspektif kerja-kerja jurnalistik, kerja-kerja kedua kelompok ini berfungsi sebagai pengeras suara, yang menggemakan isu-isu ini ke telinga-telinga yang belum mendengar. Di saat yang sama, kedua kelompok ini pun menyebarkan cerita-cerita yang belum diperdengarkan, khususnya oleh media-media arus utama.
Di dalam kedua ruang pamer Lir
yang juga secara kebetulan berada di sisi utara dan selatan bangunan utama ini
kami menghadirkan keduanya sesuai letak geografis kedua isu tersebut berada.
Kedua kelompok ini mengubah fungsi ruang pamer yang biasanya bersifat statis
menjadi dinamis. Secara berkala, ruang ini berubah selama durasi presentasi dan
akan menghadirkan beberapa aktivitas, salah satunya adalah tur. Tur yang
diselenggarakan bersama beberapa kelompok seni maupun non-seni ini merupakan
bagian dari upaya untuk mengamplifikasi gema tidak hanya dalam wilayah isunya
saja namun juga pada kerja-kerja kesenian yang turut hadir dalam isu tersebut
tanpa mengabaikan kebutuhan dari masyarakat atau lingkungan sosialnya. Tur ini
menjadi bagian dari upaya memotong jarak antara kerja-kerja kesenian dan sosial
yang di mata umum sering kali terlihat terpisah atau berjarak.
Mobilitas dalam Proyek Utara –
Selatan
“Only
when artist’s journey reveal inequalities and when their singular artistic acts
make them part of collective emancipatory subjectivities, does this nomadism
come alive politically.” [vii]
Ironisnya, dalam kaitannya dengan
mobilitas, dua proyek yang kami pilih untuk menjadi pembuka seri The Observant
Club: Mobility ini adalah tentang dua ‘gerbang masuk’ internasional ke dua
kota. Jakarta dan rencana pembangunan Giant Sea Wall serta rencana adanya
Jakarta Bay yang terus menerus terhenti ini konon diharapkan bisa menjadi wajah
masa depan bagi kota Jakarta [viii] dan NYIA yang akan
menjadi gerbang masuk arus mobilitas internasional melalui udara ke kota
Yogyakarta. Keduanya adalah tentang potensi perpindahan yang belum terjadi.
Tidak hanya membuka jalan untuk turisme namun juga untuk para seniman, tenaga
ahli, akademisi, dan masyarakat lain yang akan menikmati kemudahan untuk
mobilitasnya. Konsekuensinya, untuk memfasilitasi perpindahan masa yang
bergerak itu, mereka yang terhenti dan berada di daratan menjadi korbannya.
Pintu masuk ke kota tidak hanya membutuhkan fasad yang baik namun juga ‘ruang
tamu’ yang layak, sehingga kondisi sehari-hari yang hadir dalam realita kelas
bawah lah yang terancam menjadi yang pertama kali disingkirkan atas nama
kerapian tata kota.
Di titik ini lah estetikasi dan
romantisme yang berlebihan atas para nomad yang tidak memiliki rumah ini
kemudian menjadi problematis ketika kemudian kita luput dalam melihat adanya
permasalahan nyata dalam nomadisme yang terjadi karena keadaan. Dalam
romantisme atas kehidupan nomaden para seniman, adanya hal-hal yang permanen
dan perasaan memiliki sebuah identitas lokal menjadi sesuatu yang dengan mudah
ditinggalkan begitu saja atas nama kebebasan [ix]. Bagi warga terdampak yang
haknya atas rumah yang permanen dirampas, kepermanenan dan perasaan memiliki
tujuan untuk pulang menjadi jauh lebih bermakna. Di Barat, hal ini ditandai
dengan perpindahan para migran dan pencari suaka dengan berbagai hal yang memaksa
mereka untuk meninggalkan rumah dan berpindah. Dalam dua kasus ini, pembangunan
fasilitas untuk memperlancar mobilitas berdampak pada penggusuran dan
perampasan hak atas rumah-rumah warga di Indonesia dengan alasan untuk
keperluan khalayak umum yang lebih luas. Di Jakarta, rencana pembangunan
Jakarta Bay terus menerus menjadi rencana turun temurun dari berbagai generasi
gubernur DKI Jakarta dan pendekatan yang dilakukan dalam Ziarah Utara terkesan
lebih puitis dan bersifat lebih seperti pemetaan terhadap potensi daerah.
Sedangkan di Jogja, kegentingan dan batasan waktu dalam kasus perebutan tanah
dalam pembangunan NYIA menyebabkan perlunya respon-respon langsung dan terwujud
di bawah naungan rasa solidaritas dan empati. Kedua hal ini menjadikan proses berkelanjutan
keduanya berbeda, namun keduanya secara tegas mengambil sikap politis yang
jelas. Ketika seniman memasuki wilayah konfik dan empati serta keterlibatan
mereka hanya menjadi bagian dari pencapaian artistik dan memperkaya dirinya
saja, maka praktek itu tidak lebih dari sekedar praktek kolonialisme sekaligus
bentuk strategi marketing. Namun ketika seniman sudah melepaskan kepemilikannya
atas proyek seni yang dibuat untuk masyarakat dan demi aktivisme, aksi tersebut
menjadi otonomus dan bisa diapropriasi oleh khalayak yang lebih luas sehingga
menarik energi yang sama dan menjadi gerakan kolektif yang mampu berdampak
nyata. [x]
Sebagai usaha untuk membuka
apropriasi dan gerakan-gerakan lebih lanjut, dalam proyek UTARA-SELATAN,
dua ruang galeri di LIR Space dibuka dan difungsikan sebagai ruang diskusi,
pertemuan, dan ruang kerja yang terus berubah dan bergerak secara aktif selama
satu bulan masa presentasi berlangsung.
(LIR
– Mira Asriningtyas & Dito Yuwono)
_______________
_______________
[i] The Observant Club adalah sebuah platform riset kuratorial LIR untuk
mengeksplorasi tren terkini seni rupa kontemporer. Dalam setiap rangkaian
risetnya, terdapat satu tema besar yang berkaitan dengan tren terkini dalam
skena seni rupa kontemporer. Tema besar tersebut kemudian dibagi menjadi
beberapa proyek seni. Hasil akhir setiap edisi The Observant Club adalah
publikasi. Riset pertama The Observant Club dilakukan pada tahun 2015-2016
dengan berpusat pada karya-karya seni berbasis makanan dan dipresentasikan
dalam tiga proyek: Calibrating Senses (2015), The Soto Project (2016), dan Fine
(Art) Dining (2016). UTARA – SELATAN merupakan bagian pertama (1.01) dalam
rangkaian proyek dalam kerangka kuratorial “The Observant Club: Mobility” yang
akan berlangsundalam jangka waktu setahun ke depan.
[ii] Brigitta Isabella, Mobilitas Seniman Gelandangan Kosmopolit dan Strategi
Kebudayaan Kita, pidato dalam pembukaan “Dana Umum & Kesempatan”, 2017,
Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta.
[iii] Pascal Gielen, Nomadeology: The Aestheticisation of Nomadic Existence, “The Murmuring of the Artistic Multitude:
Global Art, Memory, and Post-Fordism”, 2015, Amsterdam.
[iv] Ibid.
[v] Michel de
Certeau, Walking in The City, “The Practice of Everyday Life”, 1984, Berkeley. p.91 - 110
[vi] Gielen,
Nomadeology: The Aestheticisation of Nomadic Existence.
[vii] Ibid.
[viii] Abidin Koesno,
Runaway City: Jakarta Bay, the Pioneer and the Last Frontier, Inter-Asia
Cultural Studies, Vol.12, No.4, 2011.
[ix] Gielen, Nomadeology:
The Aestheticisation of Nomadic Existence.
[x] Ibid.