. Tato Tolak Bala: Perlindungan Ampuh Warga Setempat .
[id]
TATO TOLAK BALA: PERLINDUNGAN AMPUH WARGA SETEMPAT
pameran tunggal oleh Edita Atmaja
Kedai Kebun Forum, Yogyakarta
Oktober 2019
_______________
Di salah satu sudut kota Jakarta,
sebuah area perumahan mewah menawarkan fasilitas keamanan 24 jam, pengawasan
CCTV di setiap sudutnya, pemeriksaan kartu identitas, dan sistem pengaman
tambahan untuk saat-saat genting: lingkungan yang dijamin bebas banjir, akses
langsung ke bandara dengan jarak tempuh 15 menit saja, hingga akses keluar dari
arah laut jika diperlukan. Pagar-pagar yang tinggi dengan sistem gerbang utama
tunggal menjadikan perumahan semacam ini tertutup bagi orang luar sekaligus
menyembunyikan rapat-rapat apapun yang terjadi di dalamnya. Terdapat kontrol
dan pengawasan penuh atas arus keluar masuk tamu. Bagi para warga setempat,
keamanan ketat ini memberikan rasa aman dan nyaman. Namun di saat yang sama,
pengamanan yang ketat ini juga merupakan perwujudan dari perasaan takut yang
mengakar dan trauma kolektif turun temurun dalam masyarakat setempat di dalam
pagar. Perasaan curiga dengan mudah muncul dari dua arah: mereka yang di dalam
pagar terhadap pihak luar, dan mereka yang berada di luar pagar terhadap
aktivitas yang tidak bisa mereka lihat di dalam pagar.
Pengamanan ekstra tersebut tidak
muncul begitu saja. Segera setelah kerusuhan Mei 1998, warga di berbagai area
perumahan mulai membangun pagar-pagar tinggi di sekitar rumah dan jalan masuk
dengan sistem pengamanan ekstra. Ketakutan yang dijaga dan dijadikan alat
mempertahankan kekuasaan bagi Orde Baru berkembang menjadi lahan bisnis baru
bagi para pengembang. Semakin tinggi harga yang siap dibayarkan, semakin tinggi
keamanan bagi mereka dengan trauma komunitas yang diturunkan.
Apabila ditelusuri akar
ingatannya, trauma yang mendarah daging ini bukan tanpa alasan. Kebencian
rasialis terhadap kelompok minoritas merupakan salah satu aksi politik pecah
belah identitas yang dilakukan tidak hanya oleh Soeharto namun juga oleh
Belanda ratusan tahun yang lalu. Konstruksi sosial yang menjadikan kelompok
minoritas sasaran kebencian masyarakat membuat berbagai pihak mudah
dibenturkan. Segregasi lah yang menjadi pemantik prasangka. Dalam kerusuhan Mei
1998, lingkungan yang multikultural justru menjadi struktur pengaman yang bisa
diandalkan. Kisah-kisah pun beredar tentang tetangga, tukang ojek langganan di
perempatan, ibu warung depan kompleks, dan bapak ketua RT yang bahu membahu
saling mengamankan. Istilah ‘warga setempat’ kemudian berubah menjadi sebuah
sistem kekerabatan yang utuh dan menyatu.
Namun bagaimanapun juga, memori
adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berganti setiap kekuasaan
berganti. 21 tahun berselang, pagar-pagar tinggi di jalan masuk dan sekeliling
kompleks warga tetap ada sebagai monumen ketakutan yang nyaris kehilangan akar
ingatannya. Ruang memori ini pun lama-kelamaan membentuk bahasa visual sebuah
tempat dan menjadikannya sekedar pemandangan sehari-hari saja.
Dalam pameran tunggalnya, Edita
Atmaja mencoba menggali kembali ingatan atas trauma kolektif di lingkungan
sekitarnya dan membuka bisnis baru: studio tato tolak bala. Tamu yang memerlukan
perlindungan ekstra akan dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruang aman untuk
mendapatkan tatonya dengan kebebasan memilih desain sesuai kebutuhan sebagai
bentuk pengamanan paling personal. Dalam studio tato ini tersedia beberapa
jenis tato perlindungan; mulai dari perlindungan terhadap tempat usaha, rumah
tinggal, keamanan saat bepergian, keamanan bagi keluarga yang berada di rumah
saat ditinggal bepergian, dan lain-lain. Pengamanan ekstra yang dijamin ampuh
bagi warga setempat!
(LIR
- Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)
_______________
"Tato Tolak Bala: Powerful Protection for Local Residents"
Edita Atmaja - Solo Exhibition
Curated by LIR *
In one corner of Jakarta, a luxury residential area offers 24-hour security facilities, CCTV surveillance at every corner, identity card checks, and additional safety systems for critical moments: a guaranteed flood-free environment, direct access to the airport 15 minutes away, even a direct access to the sea if needed. High fences with a one gate system make this kind of housing closed to outsiders while hiding anything that is happening inside. There is full control and supervision over the flow of guests—in and out. For local residents, this tight security provides a sense of secure and comfort. But at the same time, this tight security is also an expression of deep-rooted fear and collective trauma for generations in the local community inside the fence. Suspicion easily arises from two directions: those who are inside the fence against outsiders, and those who are outside the fence against activities that they cannot see inside the fence.
This extra security system did not just happen. Immediately after the May 1998 riots, residents in various residential areas began to build tall fences around the house and entrance with extra security system. The fear that was kept and used as a tool to maintain power for the New Order developed into a new business field for developers. The higher the price that is ready to be paid, the more sophisticated securities will be served for those with generational community trauma.
When we trace the roots of its memory, this ingrained trauma is not without a reason. Racist hatred of minority groups is one of the politically employed identity segregation actions carried out not only by Suharto but also by the Dutch hundreds years ago. Social construction that makes minority groups the target of community hatred makes it easy for various parties to clash. It is segregation that triggers prejudice. During the May 1998 riots, a multicultural environment actually became a reliable security structure. Stories spread; about neighbors, motorcycle taxi drivers at the intersection of the street, the lady who own stall near the house residence, and the head of RT who worked hand in hand to secure each other. The term 'local residents' then turns into a unified and integrated family system.
However, memory is contestation. Collective memory will continue to change when each power change. 21 years later, the high fences at the entrance and around the locals' residence remained as monuments of fear that almost lost their roots. This memory space eventually forms the visual language of a place and makes it just a day-to-day view.
In her solo exhibition, Edita Atmaja tried to recover memories of the collective trauma in the surrounding environment and opened a new business: a tattoo studio to ward off danger. Guests who need extra protection will be welcomed to enter the safe room to get their tattoos with the freedom to choose a design as needed as the most personal form of security. In this tattoo studio there are several types of tattoo protection; ranging from protection of business premises, residences, security while traveling, security for families who are at home or left when traveling, and others. A guaranteed powerful extra security for the local residents!
_____
Tentang Lir x KKF
Suatu pagi lima puluh tahun yang
lalu, sebuah rakit kayu berisi tumpukan mayat dimasukkan ke dalam sungai
Brantas. Bendera partai dipasang di atas tubuh tanpa kepala: teror dan pesan
kematian bagi sebagian orang. Apa yang terjadi beberapa bulan kemudian menjadi
tonggak sejarah yang dramatis, pengingat yang gamblang bagi siapa saja yang
menentang kekuatan baru. Warga sekitar sungai berhenti makan ikan sejak rumor
ditemukannya jari atau potongan tubuh manusia lainnya di tubuh ikan.
Tujuh belas tahun telah berlalu
sejak rakit mayat dibubarkan, mayat baru ditemukan dengan luka tembak di
pinggir gang kota, di hutan sepi, di karung dekat tempat sampah. Preman dan
kelompok gali yang digunakan sebagai instrumen kekuatan untuk menyebarkan teror
dan ketakutan diberantas. Hubungan yang semula hanya bisnis berkembang menjadi
alat bagi negara untuk memamerkan kekuatannya dengan alasan menjaga ketertiban,
keamanan, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan tindakan tegas.
Beberapa saat setelah rezim jatuh,
ketakutan yang dulunya alat untuk mempertahankan kekuasaan kini menjadi area
bisnis baru. Warga membangun pagar tinggi di sekitar rumah dan pintu masuk,
developer membuat ruang aman dengan satu pintu utama di bawah pengawasan ketat,
satpam memeriksa kartu identitas tamu, gerbang terkunci rapat dalam gelap,
kecurigaan terhadap orang yang bukan penduduk setempat meningkat. Semakin
tinggi harga yang siap dibayar, semakin tinggi jaminan bagi mereka yang trauma
komunitasnya berkurang. Dua puluh tahun kemudian, pagar ini tetap menjadi
monumen ketakutan yang hampir kehilangan akarnya. Ruang memori jangka panjang
membentuk bahasa visual suatu tempat dan menjadikannya pemandangan sehari-hari.
Namun, ingatan adalah kontestasi. Memori kolektif akan terus berubah dengan
setiap perubahan daya.
Permainan politik ketakutan, atau
ketakutan, mempengaruhi masyarakat melalui dorongan kuno untuk mekanisme
bertahan hidup. Orang yang selalu dalam keadaan ketakutan mudah dikendalikan,
gesekan sosial mudah terpicu, dan kebencian komunal dengan mudah diarahkan oleh
negara untuk merespon sasaran dengan identitas tertentu. Teror diperkuat dengan
rumor dan cerita. Cerita berkembang menjadi mitos dan cerita hantu untuk
menormalkan trauma masa lalu. Kekuasaan menggunakan gelombang ketakutan ini
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam pameran tunggal seri LIR x
KKF ini, LIR mengundang tiga seniman muda untuk mempresentasikan respon mereka
terhadap teror dan trauma kolektif pada masa kebangkitan Orde Baru, ketika
keresahan masyarakat meningkat dan kepercayaan perlu dipulihkan, dan pada saat
jatuhnya rezim. Narasi seri ini berjalan mundur dan menghadirkan ketakutan
dalam tiga variasi pameran tunggal: Edita Atmaja yang berbicara tentang bisnis
ketakutan pasca 1998; Arief Budiman yang bercerita tentang adegan yang hilang
dari tahun 1982 - 1985; dan Adi Sundoro tentang ketakutan makan ikan sekitar
tahun 1965.
_____
LIR x KKF (2019)
One morning fifty years ago, a wooden raft containing a pile of corpses washed away in the Brantas river. A communist party's flag is planted on the headless bodies: a terror and message of death for some people. What happened a few months later became a dramatic milestone, a stark reminder to anyone who opposes the new regime. Residents around the river stopped eating fish since rumors spread: the discovery of fingers or pieces of other human bodies inside the fish.
Seventeen years have passed since the raft of corpses drifted, new bodies were found with gunshot wounds on the edge of an urban alley, in a deserted forest, in a sack near trash dump. Thug and gangster that once used as instruments of power to spread terror and fear were eradicated. The relationship that was originally just a business developed into a tool for the state to show-off its power for the reason of maintaining order, security, and providing protection for people with decisive action.
Not long after the regime fell, the fear that was once a tool to maintain power becomes a new business field. Residents build high fences around the house and entrance, developers create a safe space with one gate system under close supervision, security guards check guest identity cards, gates are locked tightly in the night, suspicion of people who are not local resident increases. The higher the price tag, the more sophisticated securities will be provided for those with generational community trauma. Twenty years later, these fences remain as monuments of fear that almost lost their roots. It becomes a memory space that slowly shapes visual language over a place and makes it an ordinary day-to-day sight. However, memory is contestation. Collective memory will continue to change each time the power change.
The political game of fear or scaremongering influences society through an ancient urge of survival mechanisms. People who always in a state of fear are easily controlled, social friction is easily triggered, and communal hatred is easily directed by the state to respond targets with certain identities. Terror is reinforced with rumors and stories. Stories develop into myths and ghost tales to normalize past trauma. Power uses this wave of fear to gain and maintain power.
In this solo exhibition series LIR x KKF, we invite three young artists to present their response to terror and collective trauma during the rise of the New Order, when public become restless and trust needed to be restored once again, and at the fall of the regime. The narrative of this series goes backwards and presents fear in three variations of solo exhibition: Edita Atmaja who talks about the business of post-1998 fear; Arief Budiman, who talked about missing scenes from 1982 - 1985; and Adi Sundoro about the fear of eating fish around 1965.