. Permanent Osmosis .
PERMANENT OSMOSIS
pameran tunggal oleh Maryanto
Lir Space, Yogyakarta
Februari 2019
_________________________
Pernah ada masa ketika manusia
percaya bahwa surga paling tinggi tidak berada di langit melainkan berupa
sebuah taman milik Tuhan dengan buah-buahan melimpah dan kehidupan serba
berkecukupan. Tanpa disadari, manusia menukarkan kenikmatan, kedamaian, dan
kesempatan hidup di taman ini dengan pengetahuan—kepolosan mereka hilang
seiring dengan kemunculan pemahaman. Taman ini pun berubah menjadi simbol
kehilangan (atas akses ke surga) sekaligus penemuan (pengetahuan dan
pemahaman). Sejak saat itu, berbekal kisah samar dan nostalgia atas tempat yang
tidak lagi terjangkau—manusia berulang kali berupaya membuat versi tiruannya
dengan formula yang kurang-lebih dibayangkan serupa: asri, damai, tanahnya
subur ditumbuhi tanaman yang mencukupi bagi kehidupan segala makhluk hidup yang
hidup berdampingan di sana, di tengah angin sepoi-sepoi dan gemericik air.
Surga yang berada begitu dekat dengan tanah berubah menjadi sesuatu yang
mungkin digapai, selama seluruh kondisi pendukungnya berada di titik yang
tepat.
Pada tahun 606 Saka (23 Maret 684
Masehi), Sri Baginda Śrī Jayanāśa dari kerajaan Sriwijaya membuat taman
Śrīksetra di kaki Bukit Siguntang. Surga buatan ini tercatat dalam
Prasasti Talang Tuo yang ditemukan pada tahun 1920 dengan tulisan berbahasa
Melayu kuno dalam aksara Pallawa. Sebagian terjemahan isinya sebagai berikut:
Inilah niat baginda: “Semoga yang
ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon,
buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan
sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan
dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk
kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi
mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar
waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta
air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya).
Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga
budak-budak milik mereka . Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak
tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari
penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. […] “
Ada tiga hal yang terlintas di
benak kami ketika membaca terjemahan prasasti tersebut. Pertama, ide dasar
permakultur. Dalam prinsip dasar permakultur, terdapat tiga etika yang harus
selalu diingat: kepedulian atas bumi, kepedulian terhadap manusia, dan jika ada
sisa selalu dikembalikan untuk bumi dan makhluknya. Permakultur yang awalnya
hanya merujuk pada sistem permanen dan berkelanjutan atas pertanian, berubah
menjadi ‘permanent culture’ dan meliputi aspek sosial yang penting bagi sistem
pertanian yang berkelanjutan. Sistem perairan, misalnya, menjadi bagian penting
supaya habitat tanaman bisa berdiri sendiri dan berkembang secara natural.
Hewan yang berada di sekeliling ekosistem tersebut juga menjadi salah satu
bagian pendukung tumbuh kembangnya tanaman. Manusia bertugas membuat sebuah
sistem sinergis yang memperhatikan potensi elemen pendukung (lokasi, kondisi
tanah, air, karakter vegetasi, keberadaan binatang dan manusia di sekitarnya)
supaya pertanian bisa berjalan dengan sendirinya dalam perputaran yang utuh dan
terus menerus tanpa menjadi eksploitatif. Prinsip ini mengikuti cara bertani
secara alami yang dibentuk oleh Masanobu Fukuoka (1913 – 2008) yang
menggambarkan filosofi bertaninya sebagai ‘do-nothing farming’. Tidak perlu ada
usaha berlebihan untuk mengatur jalannya alam, pergerakannya tidak dipaksakan
dan dibiarkan mengikuti alur waktunya sendiri-sendiri. Pada akhirnya, “semua
amal yang diberikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk yang dapat
pindah tempat dan yang tidak”.
Prasasti Talang Tuo berhasil bertahan
selama 1314 tahun sebelum ditemukan dan menjadi bukti keberadaan sejarah taman
buatan manusia yang dibangun lebih dari 1400 tahun yang lalu. Berbeda dengan
isi prasasti yang lebih positif, pikiran kami justru menuju ke sebuah seri
video ‘What If’ di sosial media yang mempertanyakan “Bagaimana jika 7.6 milyar
manusia tiba-tiba hilang dari muka bumi?” Setelah kekacauan transportasi dan
matinya listrik dunia dalam waktu satu hari, pabrik nuklir yang meledak di hari
kesepuluh, dan hewan-hewan yang menguasai seluruh wilayah bumi di hari ketiga;
bumi akan perlahan-lahan memperbaiki dirinya. Tanaman perintis akan mulai
muncul dan seluruh kota akan diambil alih oleh vegetasi sebelum kembali menjadi
milik alam. Bangunan akan ‘dimakan’ oleh tanaman-tanaman dan kota di pinggir
laut kembali menjadi milik laut. Pemanasan global yang sudah terlanjur
diciptakan oleh manusia akan terus berlanjut hingga 40 tahun setelah ketiadaan
manusia, namun kondisi alam akan meningkat secara drastis. Kerusakan jumlah
ikan dan kehidupan laut akan membaik setelah 60 tahun dan kelebihan karbon
dioksida di atmosfir bumi akhirnya bisa dibersihkan setelah 230 tahun berkat
pernafasan dan kerja keras tanaman-tanaman yang tumbuh subur di bumi. Setelah
500 tahun tanpa keberadaan manusia, hutan di dunia akan berada dalam kondisi
paling prima selama jangka waktu 10.000 tahun terakhir dan alam akhirnya akan
mampu menghapus sisa keberadaan manusia setelah 25.000 tahun (meskipun beberapa
benda berbahan plastik masih mungkin saja ditemukan). Tentu saja semuanya
merupakan angan-angan saja. Manusia, sayangnya, masih mendominasi bumi dan
terus mengambil darinya dengan kecepatan yang tidak seimbang. Butuh lebih dari
25.000 tahun untuk menyembunyikan sisa-sisa ini.
Pertanyaan ‘bagaimana jika’ juga
membawa kami ke sebuah meme (yang sayangnya tidak bisa kami temukan lagi)
dengan pertanyaan semacam ini: “Bagaimana jika selama ini bumi merawat kita
(makhluk hidup) untuk dimakan (saat kita mati)?” Seperti pembalasan bumi
diam-diam. Harap maklum. Pikiran kami sedang sedikit acak. Kami menuliskan
pengantar ini saat kelembaban udara mencapai 94%. Suhu siang hari mencapai 32oC
dengan ‘real feel’ 39oC. Jika saja hujan turun, mungkin kami tidak
harus mandi lebih dari tiga kali sehari dalam upaya sia-sia untuk menyamankan
tubuh supaya bisa berfungsi secara produktif. Instalasi taman air dalam pameran
ini menjadi pelarian singkat saat kami membutuhkan udara segar. Tanaman di
dalamnya serupa sekelompok pekerja paksa yang diculik dan dikurung untuk
memproduksi udara segar dan kelembaban yang nyaman setidaknya di satu ruangan.
Mesin alami yang diperbudak untuk bernafas terus menerus dan menciptakan sebuah
iklim mikro dalam dunia kecil buatan manusia.
Di titik ini kita memasuki
pemikiran ketiga: bahkan sebelum pembuatan taman Śrīksetra yang tujuannya serba
mulia itu, bukan kah sebelum “tanaman-tanaman lainnya dengan
bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan,
dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang
tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan
kebahagiaan” Tapi bukankah semua makhluk sudah memiliki
alam untuk menyediakan semuanya sejak awal—meskipun tanpa kontrol dan
kepemilikan manusia? Pemberian nama adalah bentuk mula usaha mendominasi sementara
taman menjadi sebentuk penaklukkan alam yang dilakukan manusia. Penjelajahan
dan klasifikasi menjadi langkah awal menuju penjajahan dan eksploitasi. Masa
singkat (namun sangat merusak) dominasi manusia terhadap bumi ini menandai masa
baru antroposen. Saat pertama kali dalam sejarah kita akhirnya bisa
memperhitungkan dampak lingkungan hidup atas keberadaan manusia di bumi dan
kaitannya dengan perubahan iklim, biodiversitas, dan kepunahan beberapa spesies
hewan. Video ‘What If’ yang membayangkan ketiadaan manusia di bumi menjadi
gambaran utopis atas sebuah kondisi ideal yang mengembalikan kondisi bumi
kembali dalam bentuk mula yang ideal—bentuk yang paling menyerupai taman milik
Tuhan di awal pembentukan manusia.
Dalam lukisan klasik atau
penggambaran atas surga, perhatikan bagaimana dalam setiap gambaran atas surga,
hasil inovasi pengetahuan manusia dihilangkan. Tidak ada kendaraan, gedung
bertingkat, dan alat komunikasi. Sebagaimana penggambaran atas Utopia,
pembentukan citra surga tidak saja didasarkan pada hal-hal positif yang
bergabung menjadi satu melainkan juga penghilangan atas hal-hal negatif yang
tidak diinginkan: kesusahan, ketidaknyamanan, hirarki, politik, agresi,
kemajuan, dan dalam beberapa kisah—keberadaan pria secara khusus atau keberadaan
manusia secara umum. Utopia dan negasi di dalamnya menjadikannya alat untuk
melakukan kritik sosial dan menyajikan pemikiran alternatif.
Dalam beberapa kebudayaan, utopia
mulai menjadi ide pokok untuk mengawali perubahan sosial secara radikal: desa
di Afrika yang melarang pria masuk untuk menjaga keselamatan dan kedamaian
wanita di desa tersebut, sekelompok nudist yang hidup dengan bercocok tanam
secara kolektif di sebuah bukit tanpa mempedulikan hak milik, dan keberadaan
taman komunitas sebagai bentuk ketahanan pangan wilayah serta bentuk protes
terhadap komodifikasi pangan yang tidak ramah lingkungan.
Dalam pameran ini, kritik
disampaikan melalui penggambaran lanskap yang tidak ideal dan menggarisbawahi
eksploitasi sumber daya alam di ruang pertama. Sementara itu, tidak ada
konklusi di ruang galeri. Instalasinya akan terus bernafas, pertumbuhannya
tidak akan pernah selesai, tanpa intervensi, dan pergerakannya permanen.
Lama-kelamaan jika dibiarkan, lumut akan mulai merintis kehidupan baru,
tanaman-tanaman tumbuh dengan ritme berbeda-beda, dan kehidupan perlahan-lahan
terus bergerak. Mungkin ketika dibiarkan lebih lama lagi, tanaman yang dikurung
dalam ekosistem yang terkontrol ini akan mulai melakukan invasi balasan.
Bergerak dalam kecepatannya yang terlalu lambat untuk dilihat namun terlalu
gigih untuk diabaikan.
(LIR
– Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)
_______________