. Maaf Senin Tutup .
MAAF SENIN TUTUP
pameran tunggal oleh Anggun Priambodo
Lir Space, Yogyakarta
Desember 2018
_______________
“Eva, Kamu Dimana?”
“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia
melawan lupa”
(Kundera, “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”)
I.
Dalam “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”,
Milan Kundera berpendapat bahwa ketika sejarah masih bergerak secara perlahan,
peristiwa-peristiwa membentuk latar belakang umum bagi adegan petualangan yang
mendebarkan dalam kehidupan pribadi. (Ketika) sejarah bergerak dengan kecepatan
tinggi, latar belakang menjadi petualangan itu sendiri. Dalam sebuah bangsa
yang bertahun-tahun dibentuk dalam amnesia kolektif atas sejarahnya sendiri,
mungkinkah hubungan personal seseorang sebagai warga negara dengan sejarah bangsanya
terkesan terlepas begitu saja? Lupa, menjadi alat dan strategi elit politik
untuk menghindari tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang dibuatnya.
Dalam hal ini, tentu saja kecepatan menjadi faktor penting kesuksesan
terciptanya amnesia massal tersebut. Pelanggaran demi pelanggaran, ketakutan
demi ketakutan, kekerasan dan berita bohong silih berganti menjadi alat politik
yang membuat payah ingatan bangsa. Ketika rezim otoriter Orde Baru jatuh pada
tahun 1998, ingatan-ingatan yang selama ini direpresi mulai bermunculan ke
permukaan. Orang-orang mulai sadar bahwa selama 32 tahun terakhir mereka hidup
dengan kacamata berlapis warna merah jambu yang membuat kehidupan seakan
baik-baik saja dan hal-hal buruk seperti isu kekerasan, tekanan bagi etnis minoritas,
dan pelanggaran hak asasi manusia dibuat seakan menjadi hal normal sehari-hari
yang jauh dari kehidupan mereka. Jumlah para penyintas dan mereka yang masih
mengingat melalui pengalaman langsung masa itu mulai menipis. Maka usaha terus
menerus dari berbagai generasi untuk berjuang melawan lupa menjadi penting.
Dalam konteks kekaryaan seni rupa,
memang terdapat sejarah-sejarah tertentu yang terkesan hanya bisa dibicarakan
oleh orang-orang yang secara langsung terkait dengan peristiwa tersebut karena adanya
ketakutan terjadinya pergeseran makna ataupun kesalahan dalam merepresentasikan
peristiwa tersebut. Politik representasi dan ketakutan intelektual lainnya
terkadang menghentikan seniman muda yang berniat untuk membicarakan peristiwa
sejarah dan mengusung tema politik di dalam kekaryaannya. Pertanyaan seperti
‘cerita milik siapa?’, ‘apakah menyajikan ulang akan mengurangi nilai dan
kompleksitasnya?’, ‘siapa yang menceritakan kepada siapa?’, dan
pertanyaan-pertanyaan terkait politik representasi lainnya tak jarang membuat
anak muda mengurungkan niatnya dalam menyajikan karya yang terkait isu politik
dan sejarah. Ketika masyarakat mengalami amnesia massal, anak muda yang ingin
membagi rasa penasarannya atas sejarah senyap sebuah bangsa terhenti karena takut
salah representasi. Bagaimana jika, keinginannya menciptakan representasi yang
ilustratif dan sederhana ternyata merupakan sebuah usaha untuk membuka pintu
masuk pemahaman atas kompleksitas isu terkait yang terjadi di masa lalu?
Begitulah kegelisahan seniman muda
tergambar dalam karya pameran tunggal Anggun Priambodo ini. Sebuah usaha untuk
memilih titik pijak dan mengambil posisi dalam kondisi politik bangsa melalui
imaji masa lalu.
II.
Anggun Priambodo adalah seniman
yang mengalami rezim orde baru di masa remajanya. Ia tumbuh dewasa bersamaan
dengan bergantinya rezim tersebut. Gejolak politik yang mewarnai Indonesia,
khususnya di Jakarta tempat ia tinggal tentu memberikan pengaruh, baik secara
langsung maupun tak langsung pada setiap pilihan kehidupannya. Sejarah
perpindahan kekuasaan dan politik ini kemudian menjadi latar atas segala hal
yang menjadi pengalaman kesehariannya.
Dalam penciptaan karya, Anggun
terbilang jarang memasukkan muatan politik ataupun sejarah bangsa ke dalam
karya-karyanya. Sejauh pengamatan kami, setidaknya terdapat dua karya yang
secara jelas membicarakan politik, yaitu “Dimana Saya?” (2008) yang merupakan
bagian dari 9808, antologi 10 tahun reformasi, dan “Gelora” (2015) yang
menggunakan arsip-arsip pada masa Orde Baru dari Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI). Karya Anggun umumnya merupakan kritik sosial dan komentar
personal atas hal-hal yang tidak biasa dibicarakan. Ia memilih untuk
menjalankan perannya sebagai warga negara yang mengambil posisi dan
menggambarkan keberpihakannya melalui personanya yang lain. Ketenarannya
sebagai pembuat film dan pendiri Majalah Cobra membuatnya aktif berkampanye
melawan lupa, mendukung pemerintahan Ahok dan Jokowi secara terbuka, dan
menyampaikan kegelisahannya melalui corong-corong yang lebih besar untuk
menjangkau audiens yang lebih luas. Meskipun selalu memiliki pilihan-pilihan
politis dalam penciptaan karyanya, isu politik praktis lebih banyak hadir dalam
percakapan dan keseharian Anggun dibandingkan dalam karya seni rupanya.
Percakapan sehari-hari di antara
kami bertiga juga lah yang menjadi awal mula rencana pameran ini. Tak jarang
percakapan ini melibatkan pandangan politik kami masing-masing. Tanpa disadari,
pembahasan politik menjadi latar dari pertemanan kami yang terbilang kasual.
Ketika kami berkumpul, kami seakan sibuk melakukan apa yang disebut
sebagai refaire le monde—ungkapan dalam keseharian sekelompok teman
yang begadang sambil minum-minum dan berbicara panjang lebar tentang segala hal
seakan sedang ‘menata ulang dunia’. Terkadang penuh semangat, namun kerap
terhenti oleh keterbatasan kapasitas pribadi kami masing-masing.
Setelah mengalami durasi yang
panjang dan terkadang membuat kami kelelahan, kami tiba pada topik yang sedikit
nostaljik namun tak berbelok dari hal-hal politik, yaitu ingatan/ pengalaman
kami dalam bersentuhan dengan sejarah politik Indonesia; khususnya saat
reformasi terjadi. Sebagai orang-orang yang dilahirkan pada tahun 70-80an
akhir, bisa dipastikan kami melewati peristiwa 1998 tersebut setidak-tidaknya
dalam usia remaja. Usia yang sudah cukup untuk mengingat dan mengalami
peristiwa tersebut. Selain itu, posisi keberadaan kami yang berbeda-beda saat
itu (Jakarta, kota Jogja, dan Kaliurang) menjadikan pengalaman kami berbeda,
begitu juga usia kami yang terpaut hampir sepuluh tahun. Diluar dugaan, satu
dari kami bertiga benar-benar tidak mengalami hal-hal yang umumnya dekat dengan
peristiwa peralihan kekuasaan tersebut. Ia berada dalam jarak yang aman,
nyaman, dan terpisah dari segala kekerasan dan kekacauan tersebut.
Absennya pengalaman langsung atas
peristiwa politik di tahun 1998 ini dari salah seorang diantara kami
memunculkan pertanyaan yang sama dan berulang: jika ada seseorang yang tidak
memiliki pengalaman atas suatu peristiwa yang pernah terjadi di wilayahnya,
sejauh apa ia boleh, dan/atau mampu membicarakannya melalui sebuah karya?
Apakah usaha untuk melakukan kompensasi atas ketiadaan pengalaman ini dengan
bacaan, obrolan, dan berbagai pembelajaran sudah cukup? Di titik ini pula lah,
Anggun memutuskan untuk melihat kembali hubungan antara dirinya dengan sejarah
politik tahun tersebut serta memposisikan dirinya secara hipotetis dalam
kacamata seseorang yang berbeda generasi darinya.
III.
Dalam pameran tunggal kali ini,
setidaknya ada dua tantangan yang muncul. Pertama, penggunaan medium video atau
film sebagai karya utama; kedua, meletakkan sejarah dan politik sebagai hal
yang membingkai keseluruhan karya. Anggun memang dikenal sebagai seniman video
ataupun pembuat film namun dalam pameran tunggal sebelumnya ia dengan sengaja
tak memilih medium tersebut sebagai karya utamanya. Untuk itulah, pameran
tunggal dengan judul “Maaf Senin Tutup” ini berawal dari sebuah film berdurasi
kurang lebih 60 menit.
Karya-karya Anggun yang kerap
mengarah ke bentuk-bentuk humor ini pun kembali terlihat dari bagaimana Anggun
mencoba menghadirkan kedua tantangan yang sebelumnya telah disebutkan.
Bagaimanapun juga, humor adalah strategi kritis untuk mengartikulasikan gagasan
politik dan isu representasi. Anggun seolah membagi pameran ini ke dalam dua
gagasan yang berkesinambungan, yaitu sebuah film yang ditayangkan secara
berkala di salah satu ruang pamer LIR Space, dan sebuah pameran seni rupa di
ruang satunya dari Eva Sopu, tokoh fiktif yang hadir di dalam film tersebut.
Eva digambarkan sebagai sosok perempuan Jakarta berusia 30 tahun yang sedang
berkunjung ke Yogyakarta sebagai bagian dari upayanya mencari inspirasi dan
mengejar hasrat menjadi seniman.
Sosok Anggun dan Eva bisa
dibayangkan sebagai serupa tapi tak sama. Keduanya memang hadir dalam
kegelisahan yang sama, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan yang juga nyaris
sama. Anggun mengalami peristiwa sejarah bangsa secara langsung sebagai bagian
dari petualangannya sendiri—kedekatan ini menjadikan pengalaman tersebut utuh
menjadi miliknya dan terbawa dalam kehidupan sehari-hari saja. Perbedaan yang
untuk kami terlihat jelas adalah ketika Anggun mencoba melihat kembali
karya-karyanya yang erat dengan euphoria kebebasan paska reformasi sehingga
sejarah dan politik dalam karyanya terkadang muncul sebatas latar belakang.
Sedangkan Eva adalah sosok yang sedang mencari posisi kehidupan pribadinya
diantara sejarah politik Indonesia. Eva melalui peristiwa sejarah bangsa ini
sebagai latar belakang kehidupannya tanpa bersentuhan secara langsung, sehingga
ia justru berusaha keras untuk memahami masa yang menimbulkan trauma yang
membekas baginya tersebut.
Eva mencoba mengingat pengalaman
terdekatnya dengan reformasi di antara pengalaman pribadinya yang hanya
beririsan tipis dengan peristiwa penting negeri ini. Dengan memilih memunculkan
pengalaman-pengalaman keseharian sebagai latar dari pamerannya, Eva
mencuri-curi kesempatan untuk memunculkan satu pengalaman yang paling dekat
dengan dirinya dan peristiwa kekerasan di masa kejatuhan Orde Baru tersebut,
yaitu konser Kantata Takwa Samsara tahun 1998. Sebuah konser besar yang
diselenggara dua bulan tepat selepas kerusuhan besar Mei ‘98, yang berujung
aksi keributan dan bocornya kepala ayahnya akibat terlempar batu. Mungkin bagi
Eva, amnesia sejarah dan romantisme atas masa lalu lah yang lebih menakutkan
daripada segala traumanya atas kerusuhan, kerumunan, dan batu yang menghantam
kepala ayahnya. Berusaha mengingat dan menyimpan ingatan itu sendiri tidak akan
pernah cukup sehingga Eva mulai memberanikan diri mengilustrasikan ingatan
samar-samarnya atas sejarah bangsa ini melalui pameran tunggalnya. Eva,
digambarkan oleh Anggun sebagai sosok yang sedang mengambil langkah pertama
dalam mengambil sikap politiknya—sebuah perjuangannya melawan lupa.
(LIR
- Mira Asriningtyas & Dito Yuwono)
_______________
Sinopsis
Film:
Eva
seorang atlet renang yang pada usia menjelang tigapuluhan sudah tidak dapat
berprestasi lagi memutuskan untuk kembali pada hobinya dulu, berkesenian. Dia
memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta dalam mengejar mimpinya untuk menjadi
seniman. Dalam pencariannya tersebut, ia tidak saja mengunjungi berbagai galeri
seni, dan pameran namun juga bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Jansen
yang telah menetap di kota Yogyakarta.
Perjalanannya mengunjungi galeri-galeri seni ini berjalan tak seperti yang
dibayangkan. Ia tidak tahu bahwa hari Senin adalah hari libur untuk kebanyakan
galeri seni. Perjalanan yang tak sesuai bayangan ini rupanya menghadirkan hal
lain yang tak terduga dimana ia justru bertemu dengan banyak orang yang bekerja
di lingkungan senirupa. Pertemuan tak terduga ini membawanya pada
percakapan-percakapan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Maaf Senin Tutup menghadirkan sebuah cerita tentang individu yang mencoba
memahami kerja-kerja kesenian, galeri, serta pencarian jati diri. Sebuah
perjalanan singkat yang mempertemukannya pada percakapan-percakapan dan
pengalaman yang tidak dia sangka-sangka.