. , etc.
, etc.
Group Exhibition
Jogja Contemporary, Yogyakarta
2017
_______________
Meraba
Narasi Besar Melalui Sejarah Personal
“Bagaimana
seseorang memahami apa yang terjadi hari ini jika orang tersebut tak mencoba
memahami apa yang terjadi di masa lalu, dan menjadikan pengalaman personal
menjadi lubang untuk membaca sesuatu yang lebih besar?”
_______________
Dalam praktik penciptaan karya,
baik seni rupa, pertunjukan, maupun film, tema sejarah kerap dijadikan pijakan
awal dari gagasan yang akan diangkat. Dalam sejarah seni rupa sendiri, praktek
penciptaan karya yang berangkat dari tema-tema sejarah sebenarnya bukan hal
yang baru. Tema ini bisa diangkat dalam beberapa pendekatan yang berangkat dari
narasi besar, kisah-kisah yang dituturkan secara turun temurun, catatan,
artefak, hingga pengalaman pribadi.
Kami melihat ada dua kecenderungan
dalam penciptaan karya seni rupa yang berangkat dari tema-tema sejarah ini;
Sejarah sebagai sesuatu yang ditempelkan sebagai latar peristiwa karya, dan
sejarah sebagai keseluruhan bagian karya yang diangkat. Kecenderungan
pertama dimana sejarah ditempelkan sebagai latar peristiwa karya merupakan
kecenderungan yang cukup umum muncul dalam karya-karya yang bersifat
ilustratif, dan memang dengan sengaja tidak membawa konteks masa kini ke dalam
karyanya.
Kecenderungan yang berikutnya
adalah penggunaan sejarah sebagai keseluruhan bagian karya yang diangkat.
Karya tersebut biasanya bersifat panjang, melalui observasi yang berkelanjutan,
dan selalu meletakkan sejarah dalam konteks masa kini. Kecenderungan ini
biasanya dipilih oleh seniman-seniman yang kerap bergerak melintasi batas-batas
medium, dan tak jarang memposisikan dirinya di ambang batas disiplin yang
lainnya.
Pada kecenderungan kedua inilah
kemudian perbincangan terkait penggunaan sejarah sebagai bagian dari penciptaan
karya dapat dibicarakan secara lebih luas. Sejarah tidak lagi menjadi bidang
keilmuan yang digunakan sebatas untuk mengetahui perjalanan masa lalu namun
dapat dibaca ulang, yang kemudian tidak dilihat sebagai kejadian tunggal.
Hal-hal di sekeliling sejarah besar sendiri terdapat sejarah-sejarah kecil yang
tak dibicarakan. Terlewat dan hilang di dalam keriuhan saluran utama sejarah
tersebut. Sejarah-sejarah kecil atau personal ini yang kemudian memungkinkan
untuk melihat sejarah besar bukan sebagai kebenaran ataupun kejadian tunggal.
Terkadang, sejarah personal yang
awalnya tampak tak heroik dan tak penting inilah yang kemudian dilihat sebagai
pintu masuk untuk membicarakan peristiwa besar. Bahkan tak jarang
sejarah-sejarah personal yang kecil inilah yang sebenarnya mampu memberi
konteks atau justru memberi perlawanan (seadanya) pada gegap gempita sejarah
besar. Jaring-jaring sejarah yang kecil-kecil ini kemudian membangun satu
jaringan besar yang mungkin menjadi tawaran lain atas sejarah yang lebih mapan.
Dalam proses lokakarya sejarah dan
penciptaan karya seni ini, kami mengundang seniman muda untuk mengikuti proses
intensif dalam mengenal penciptaan karya seni berbasis sejarah melalui
serangkaian lokakarya, art camp, dan mentoring yang intensif. Kami meminta
mereka untuk menemukan kisah-kisah yang menarik bagi diri mereka masing-masing
yang berkaitan dengan sejarah Indonesia. Sebagian besar dari seniman muda ini
tumbuh di masa reformasi dan tidak mengingat masa orde baru selain dari narasi
yang kerap mereka dengar ketika mereka tumbuh dewasa. Meskipun tidak ada arahan
untuk menggali kasus-kasus yang berhubungan dengan orde baru, namun secara
tidak langsung ketertarikan mereka mengarah ke masa-masa yang hanya bisa mereka
raba dari sisa-sisa kisah, artefak, atau arsip sejarah dalam berbagai bentuk.
Di satu sisi, ketertarikan ini mungkin karena ketika mereka mencoba
membicarakan sejarah, narasi tersebut belum terlalu lama berselang dari
kehidupan mereka serta orang-orang di sekitar mereka. Di sisi lain, mungkin
juga mereka tanpa sadar berbagi kegelisahan yang sama atas bahaya budaya yang
mudah lupa. Ketika sebuah generasi melupakan sejarah kelam masa lalunya, maka
resiko perulangan pun kembali muncul. Sehingga terkadang sejarah perlu untuk
terus dipelajari dan dimaknai ulang secara lebih personal sebagai bentuk gesture penolakan
atas budaya lupa.
(LIR
- Dito Yuwono & Mira Asriningtyas)
_______________